BAB 1
PENDAHULUAN
Agama Hindu
adalah agama yang paling pesat perkembangannya di Bali. Namun, tata cara
persembahyangan di setiap desa berbeda-beda sesuai dengan Desa, Kala, Patra.
Oleh karena itu, setiap Desa di Bali memiliki keunikan masing-masing dalam tata
cara persembahyangan. Selain
perbedaan tersebut, salah satu keunikan desa lainnya yaitu terdapat pura yang
unik.
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan
bagi masyarakat Hindu, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari urat kata “pur”
yang berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat
pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat
suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali
Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam
prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau
tempat yang berhubungan dengan Ketuhanan.
Terdapat
4 jenis Pura di Bali, yaitu Pura Umum, Pura territorial, Pura Fungsional, dan
Pura Kawitan.
1 Pura
umum adalah Pura yang mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi
dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh
seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang
tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura
Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan Tunggal.
Selain itu, Pura yang tergolong pula ke
dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura-pura yang di hubungkan dengan pura tempat
pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali seperti Pura Sakenan, Pura Taman
Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.
2) Pura
territorial. Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai
tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang
diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah
banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat adat yang
memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga
buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang
merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga
itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan.
3) Pura
Fungsional , Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya
terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem
mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan
karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang
disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak.
Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura
Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.
4) Pura
Kawitan. Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit
atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula
disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura
Warga atau Pura Klen. Dengan demikian maka Pura Kawitan adalah tempat pemujaan
roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan.
Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti
maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama.
Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka
disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear
family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga
disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang
suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin. Tempat pemujaan
satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan
Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau
pemerajan agung.
Pada makalah ini,
saya akan membahas Pura yang unik di Desa saya. Pura
tersebut adalah Pura Dalem Samprangan.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Pura Dalem Samprangan
Pura
Dalem Samprangan merupakan Pura yang terletak di Desa Samplangan, Gianyar.
Jaraknya kurang lebih 2 km dari pusat kota Gianyar.
Menurut
penuturan masyarakat, Pura Dalem Samprangan memiliki kisah sejarah. Pura
tersebut berhubungan dengan keberadaan Kerajaan Samprangan yang merupakan
kerajaan Bali Dwipa pertama yang dipimpin oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang
bertempat di desa Samprangan yang sekarang menjadi desa Samplangan. Menurut
sumber yang penulis dapat dari http://www.youtube.com/watch?v=YinxV8_0eQw,Pura Dalem
Samprangan dibangun pada saat pemerintahan Raja Bali kedua, yang bergelar Sri
Agra Samprangan pada tahun 1343 Masehi. Pura tersebut merupakan tempat bersembahyang Raja pada Pemerintahan Sri
Agra Samprangan. Untuk lebih jelasnya,
penulis uraikan sedikit tentang Sejarah kerajaan Bali.
1.
Sejarah Kerajaan Bali
……………………………………………………………………………………………..
Majapahit
yang dipimpin Raja Putri: Sri Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani
bersama Patih Agung: Gajah Mada berhasil menguasai Kerajaan Bali Aga yang
dipimpin oleh Raja Paduka Bathara Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten (dikenal
dengan nama: Bedahulu) dengan Patih yang bernama Ki Pasung Grigis dan Ki Kebo
Iwa, pada tahun 1343 M atau isaka 1265. Pimpinan Pemerintahan sementara
diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih Wulung.Beliau
menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel.
Walaupun
Bali sudah dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh militer
Bali Aga sudah menyerah.Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan
sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki
Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur.Setelah tujuh tahun barulah
pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum
mau menerima kehadiran “si-penjajah” sepenuh hati.
Melihat keamanan sudah
membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada
tahun 1350 M atau 1272 isaka, Ki Patih Wulung berangkat ke Majapahit untuk
menghadap Sri Ratu. Tujuannya adalah melaporkan situasi di Bali dan memohon penunjukan seorang
Raja di Bali Dwipa. Atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga
dilantiklah empat orang Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin
kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu: Sri Juru, menjadi Raja di
Blambangan, Sri Bhima Sakti menjadi Raja di Pasuruan, Sri Kepakisan (putri) menjadi
Raja di Sumbawa, dan Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.
Dalem
Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan
Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu
Rawuh. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada,
desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada
serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam
kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang
lebih 5 km. Dalam pemerintahannya Dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang
menjabat sebagai Mangku Bumi.
Dalem Sri Kresna
Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu Gajah Para,
melahirkan: Dalem Wayan (Dalem Samprangan), Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan),
Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak), dan Dalem Ketut (Dalem
Ketut Ngulesir). Istri yang kedua yaitu
Ni Gusti Ayu Kuta Waringin, melahirkan: Dewa Tegal Besung.
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di
Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan
yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908).Beliau membawa pengaruh-pengaruh
baru dari Majapahit termasuk para bangsawan.Bangsawan baru ini merupakan
kelompok elite yang menempati status dan peranan penting atas struktur
pelapisan masyarakat Bali.Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan
bangsawan dari kerajaan Bali kuno.
Dalem Sri Kresna
Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka.Beliau digantikan oleh
putranya yang tertua, yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan. Di
awal pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan terasa situasi di Puri Samprangan
memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik beliau yang
dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat Raja.
Untuk menghindari
pertengkaran, maka kedua adik Raja, yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem Ketut,
memilih tinggal di luar istana.Dalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di
Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar Dalem Tarukan. Dalem
Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain,
menyamar sebagai penjudi ayam aduan; Penduduk lalu menjuluki beliau Dalem Ketut
Ngulesir.Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud
menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan
serta mengadakan pendekatan dengan rakyat.Ide Bethara Dalem Tarukan memilih
Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang
sebahagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan.
Sementara
itu pergolakan di Puri Samprangan makin memanas, ditandai dengan pemberian
julukan yang tidak pada tempatnya kepada Raja. Dalem Sri Agra Samprangan diberi
julukan Dalem Ile (Ile=gila), Dalem Tarukan dinyatakan “rangseng” (=gila karena
marah), dan Dalem Ketut dinyatakan sangat suka berjudi, khususnya mengadu ayam.
Julukan tidak pada tempatnya yang diberikan kepada para Raja itu sangat
bertentangan dengan ajaran agama Hindu yang senantiasa mengajarkan penghormatan
tinggi kepada Pemimpin Pemerintahan. Penghinaan kepada Raja itu jelas fitnah,
karena jika benar adanya, pasti Maha Raja Majapahit dan Maha Patih Gajah Mada
tidak akan tinggal diam. Tindakan pemecatan atau penggantian Raja pasti
dilakukan. Selain itu, jika julukan itu benar, para musuh, yaitu rakyat
Bedahulu akan mempunyai peluang yang baik untuk menggulingkan Pemerintahan
Samprangan.
Pemerintahan Samprangan
di ambang kehancuran, karena tidak adanya dukungan dari para Menteri dan
pembantu Raja.Dalem Wayan merasa perlu memanggil adik beliau yaitu Dalem Ketut
untuk diajak kembali tinggal di Puri Samprangan.Maksudnya agar Dalem Ketut
turut membantu beliau menyelenggarakan pemerintahan.Perbekel Kaba-Kaba diutus
beliau untuk menjemput Dalem Ketut ke Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak
karena beliau merasa belum mampu memimpin kerajaan di Samprangan.
Sementara Dalem
Ketut mencari jalan keluar memecahkan masalah ini, datanglah Kuda Penandang
Kajar sebagai utusan Dalem Tarukan memohon Dalem Ketut pulang untuk memimpin
Kerajaan Samprangan.Dalem Tarukan sendiri tidak berniat menjadi Raja, karena
beliau lebih tertarik kepada profesi kepanditaan. Pesan lain yang disampaikan
Kuda Penandang Kajar adalah, jika Dalem Ketut berkenan, beliau dibolehkan
menggunakan istana Tarukan. Walaupun penjemputan kali ini penuh penghormatan
dan kemewahan, misalnya dengan kuda tunggangan istimewa bernama I Gagak dan
sebuah keris milik Dalem Tarukan yang bernama I Pangenteg Rat, Dalem Ketut
tetap menolak permintaan kakaknya itu, sekali lagi dengan alasan belum mampu
memimpin atau menjadi Raja.
Kecewa karena
tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang Kajar kembali ke Tarukan dengan lesu.Di
perjalanan beliau disambar burung gagak hingga destarnya jatuh.Sesampainya di
gerbang istana Tarukan, dilihatnya puncak gelung kuri terpenggal.Hanya Kuda
Penandang Kajar yang melihat demikian, sementara para pengiringnya tidak
melihat puncak gelung kuri itu terpenggal.Hal tersebut terkesan pertanda buruk
di hati Kuda Penandang Kajar sampai-sampai beliau jatuh sakit.Dalem Tarukan
prihatin pada sakit yang diderita kemenakannya ini.
Sementara itu
tersiar berita yang mengagetkan, bahwa para panglima perang Samprangan
merencanakan memerangi Kerajaan Blambangan.Dalem Tarukan tidak setuju dengan
rencana itu, mengingat bahwa Dalem Blambangan, yaitu ayah Kuda Penandang Kajar,
masih saudara sepupu beliau. Dalem Tarukan berpendapat bahwa rencana itu
mempunyai latar lain, mungkin saja gerakan merebut kekuasaan, yaitu bila
prajurit dikerahkan ke Blambangan, Dalem Wayan akan mudah digulingkan. Dalem
Tarukan cepat mengambil inisiatif untuk mengikat tali persaudaraan antara
Samprangan dengan Blambangan, yaitu dengan menikahkan Kuda Penandang Kajar
dengan putri Dalem Wayan, bernama I Dewa Ayu Muter.Dengan ikatan tali
persaudaraan itu, perang dapat dicegah.Sakitnya Kuda Penandang Kajar menjadi
suatu jalan untuk memohon restu para Dewata.Jika Dewata mengijinkan pernikahan
ini, kesembuhan Kuda Penandang Kajar menjadi suatu batu ujian. Pertimbangan
lain, Dalem Tarukan melihat bahwa Kuda Penandang Kajar sudah cukup dewasa, dan
dari gelagat sehari-hari nampaknya tertarik kepada I Dewa Ayu Muter. Terucaplah
tegur sapa Dalem Tarukan kepada Kuda Penandang Kajar:
“Duhai anakku, segeralah sembuh; ayah berkeinginan mengawinkan anak dengan I Dewa Ayu Muter.”
“Duhai anakku, segeralah sembuh; ayah berkeinginan mengawinkan anak dengan I Dewa Ayu Muter.”
Ternyata
permohonan Dalem Tarukan kepada para Dewata terkabul.Kuda Penandang Kajar
segera sembuh dan sehat seperti semula.Tentu saja Dalem Tarukan sangat
bergembira.Kini beliau merencanakan mewujudkan perkawinan kedua muda-mudi
itu.Untuk meminang tentu saja tidak mungkin, karena posisi Dalem Wayan sangat
lemah.Beliau hampir tidak dapat memutuskan sesuatu.Semua keputusan diambil oleh
para Menteri.Akhirnya dilaksanakanlah perkawinan secara adat kawin-lari.Awalnya
perkawinan itu berjalan lancar, sampai pada malam hari terjadi hal yang
merupakan akhir dari keberadaan Puri Tarukan. Kedua
mempelai yang sedang berbulan madu di peraduan, tewas berbarengan tertusuk
senjata keris. Seorang abdi perempuan pengasuh I Dewa Ayu Muter di Puri
Samprangan melaporkan secara tergesa-gesa kepada Dalem Wayan bahwa putri beliau
satu-satunya , yaitu I Dewa Ayu Muter, semalam telah tewas di Puri Tarukan terbunuh
oleh Ki Tanda Langlang. Dalem Wayan tentu saja sangat terkejut dan segera
memanggil para menterinya. Seorang panglima perang menyampaikan ceritra yang
lengkap, serta memperkuat keyakinan Dalem Wayan bahwa putri beliau bersama-sama
Kuda Penandang Kajar benar telah tewas ditikam Ki Tanda Langlang. Betapa
murkanya Dalem Wayan setelah mendapat penjelasan para Menterinya itu.Segera
disuruhlah memukul kentongan dengan suara "bulus" sehingga para
prajurit segera berkumpul di halaman istana.Di saat itu Dalem Wayan
memerintahkan pasukan Dulang Mangap yang dipimpin Panglimanya Kiyai Parembu,
menyerang menghancurkan Puri Tarukan serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau
mati.
Singkat cerita, sudah sekian lama Kiyai
Parembu mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan dan desa-desa di pegunungan,
tiada kabar berita, membuat Dalem Wayan resah.Dalam hati kecilnya beliau
menyesal telah mengeluarkan perintah yang demikian kejam namun sebagai seorang
Raja tidak mungkin beliau menarik kembali perintah itu.Kini beliau mengharap semoga
adik kandung beliau itu selamat.
Rasa kesepian karena tiada saudara
sekandung, perasaan bersalah yang terus menghantui, serta siasat dari para
Menteri yang tiada hentinya, membuat Dalem Wayan tidak bergairah memimpin
pemerintahan Kerajaan Samprangan. Perasaan bersalah Dalem Wayan makin
menjadi-jadi setelah istri Dalem Tarukan yaitu putri dari Lempuyang meninggal
ketika putra yang dilahirkannya genap berusia 42 hari. Bayi mungil ini dinamai
I Dewa Bagus Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di peraduan saja, tidak beda
seperti orang yang sedang sakit. Para menteri dan petinggi kerajaan yang ingin
menghadap tidak berhasil menemui beliau, sehingga lama kelamaan roda
pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.Keadaan ini mengkhawatirkan
beberapa menteri karena dapat membahayakan kelangsungan berdirinya kerajaan
Samprangan, apalagi kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga masih terus
berusaha menggulingkan kerajaan.Seorang menteri bernama Kiyai Kebon Tubuh
mengambil inisiatif berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput Dalem Ketut
Ngulesir untuk memohon beliau bersedia menjadi Raja.
Kiyai berhasil menemui Dalem Ketut di arena
sabungan ayam sedang berwajah lesu karena baru saja kalah bertaruh.Kiyai
melaporkan secara singkat keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan dan peristiwa
menyedihkan yang terjadi di Puri Tarukan.Sejenak Dalem Ketut termenung
membayangkan betapa tragisnya nasib beliau tiga bersaudara.Kiyai melanjutkan
permohonannya agar Dalem Ketut sudi pulang ke Samprangan untuk memimpin
kerajaan Bali Dwipa. Walaupun Dalem Ketut sudah lama meninggalkan Samprangan,
beliau selalu memantau apa yang terjadi di Puri Samprangan. Permintaan Kiyai
Kebon Tubuh itu memang patut dipertimbangkan demi menjaga kelangsungan roda
pemerintahan, namun bagaimana nanti dengan kedudukan Dalem Wayan ?Pemikiran
Dalem Ketut itu nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan
agar Dalem Ketut memerintah dari Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata
lain kerajaan seolah-olah sudah dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui
Dalem Ketut dan segeralah beliau berangkat ke Gelgel.
Dalem Ketut Ngulesir, bergelar Dalem Sri
Semara Kepakisan, memerintah sejak tahun 1383 M atau 1305 isaka sampai tahun
1460 M atau 1382 isaka. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel
yang diberi nama baru Sweca Pura.
……………………………………………………………………………………………….
Berdasarkan
informasi yang penulis dapat dari Pemangku, Bhatara-bhatara yang berstana di Pura
Dalem Samprangan adalah Bhatara Sri Rambut Sedana, Bhatara Dalem Samprangan,
dan Bhatara Ratu Panji.
2. Pemugaran Bangunan Pura
Dalem Samprangan
Menurut Bpk. Wayan
Sujana selaku Klian adat di desa Samplangan, Pura Dalem Samprangan sudah
mengalami pemugaran selama beberapa kali.Namun, pemugaran tersebut hanya
sebatas pemugaran pelinggih dan bangunan-bangunan Pura saja, seperti
piyasan.Pemugaran terakhir dilakukan pada tahun 2002. Pemugaran ini merupakan
pemugaran akbar. Hampir keseluruhan bangunan Pura direhab.Pemugaran tersebut
diprakarsai oleh Anak Agung Gede Beratha (Bupati Gianyar).Beliau mengumpulkan
penyiwi dari seluruh Bali untuk mengadakan rapat besar guna memugar bangunan
pura tersebut. Berdasarkan hasil rapat tersebut diutuslah masing-masing 5 orang
krama untuk menangani tiap kabupaten dengan membawa surat undangan.
Dari hasil rapat akbar tersebut, para
penyiwi di seluruh Bali memutuskan:
1.
Siap merehab bangunan yang
sudah lama.
2.
Setiap
penyiwi mengeluarkan urunan 100rb
per-KK.
3.
Pembangunan pelinggih dicarikan
pemborong.
Teknis pemungutan
dana dari penyiwi dikoordinir oleh panitia (prajuru desa). Setelah itu mulailah
pemugaran bangunan Pura hingga tampak seperti sekarang.
Gambar 2.1 Pura Dalem Samprangan Sekarang
B.
Susunan
Pelinggih-Pelinggih Pura Dalem Samprangan
Pura
Dalem Samprangan berada di atas lahan berstatus “druwen desa” seluas ± 10 are.
Pura Dalem Samprangan terletak di pinggir jalan raya dan di tengah-tengah
pemukiman warga.
Menurut
pemangku, Pura Dalem Samprangan merupakan bekas Pura Kerajaan Samprangan.Oleh
karena itu, Pura Dalem Samprangan berfungsi sebagai Pura umum yang bisa
dijadikan tempat bersembahyang oleh umat Hindu dari manapun.Pura Dalem
Samprangan disungsung oleh masyarakat Samplangan dan penyiwi dari berbagai
wilayah di Bali.Masyarakat Samplangan wajib melaksanakan upacara piodalan
terhadap Pura tersebut sedangkan penyiwi bertanggung jawab atas pembangunan
Pura.
Pura
Dalem Samprangan terdiri dari 27 bangunan yang terdiri dari 3 bagian, yaitu:
a. Bagian
jeroan
Terdiri dari bangunan:
1)
Balai
pesanekan, yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan pemangku.
2)
Piyasan,
sebagai tempat menghaturkan banten kepada Ida Bhatara.
3)
Pelinggih
taksu agung, sebagai pelinggih Bhatara Taksu Agung.
4)
Pelinggih
ratu panji, sebagai stana Raja masa Lampau.
5)
2
buah Pelinggih cermin, sebagai peninggalan Raja untuk berhias.
6)
Pelinggih
gedong penyineban, sebagai tempat untuk nyineb dan menyimpan arca.
7) Pelinggih
gunung agung, sebagai stana Dewa Mahadewa.
8) Pelinggih
gunung lebah, sebagai stana Bhatara di Batur.
9)
Padmasana,
sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
10) Pelinggih meru, sebagai pelinggih Bhatara Sada Siwa
Parama Siwa.
11) Pelinggih gedong sari, sebagai pelinggih Bhatara Sri
Sedana.
12) Pelinggih maspahit, sebagai persimpangan Ratu Maspait
(Ratu dari Majapahit).
13) Pelinggih
nglurah agung, sebagai prekangge.
14) Panggungan, sebagai pelinggih Bhatara Yoni Sakti.
15) Pesamuan agung, sebagai pelinggih Ida Bhatara semuanya.
16) Balai pesantian, tempat mengadakan pesantian.
17) Balai
patok, sebagai tempat untuk undangan/pejabat-pejabat yang datang seperti
Bupati.
b. Bagian
jaba tengah
Terdiri dari bangunan:
1) 2
buah apit lawang, sebagai symbol penjaga pintu gerbang.
2) Balai
gong, sebagai tempat meletakkan gong dan tempat untuk memainkan gong.
3)
Balai
kulkul, sebagai tempat kulkul Pura yang akan dipukul saat upacara piodalan
dimulai.
c. Bagian
jaba
Terdiri dari bangunan:
1)
Wantilan,
sebagai tempat mengadakan hiburan dan kegiatan-kegiatan Desa lainnya.
2)
Kulkul
banjar, sebagai tempat meletakkan kulkul banjar yang akan dipukul jika terjadi
masalah yang genting, tanda untuk mengumpulkan pemuda-pemudi untuk rapat, tanda
ada orang yang meninggal, dan lain sebagainya.
Untuk lebih
jelasnya, perhatikan denah Pura Dalem Samprangan dan keterangannya.
Keterangan denah:
1.
Balai Pesanekan
2.
Piyasan
3.
Pelinggih Taksu Agung
4.
Pelinggih Ratu Panji
5.
Pelinggih Cermin
6.
Pelinggih Cermin
7.
Pelinggih Gedong Penyineban
8.
Pelinggih Gunung Agung
9.
Pelinggih Gunung Lebah
10.
Padmasana
11.
Pelinggih Meru
12.
Pelinggih Gedong Sari
13.
Pelinggih Maspahit
14.
Pelinggih Nglurah Agung
15.
Panggungan
16.
Pesamuan Agung
17.
Balai Pesantian
18.
Balai Patok
19.
Balai Peselang
20.
Gelung Kori Agung
21.
Apit Lawang
22.
Balai Gong
23.
Balai Kulkul
24.
Jempeng/ WC
25.
Perantenan
26.
Wantilan
27.
Kulkul Banjar
C.
Dudonan
Dan Jalannya Upacara Piodalan Di Pura Dalem Samprangan
Upacara
Piodalan adalah upacara pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang
Maha Esa) dengan segala manifestasinya lewat sarana pemerajan, pura, kahyangan
saat hari- hari tertentu. Upacara Piodalan bisa juga bermakna hari ulang tahun
bagi pura.Piodalan bisa juga di sebut pertitayan, petoyan dan puja wali.
Hari
piodalan di Pura Dalem Samprangan jatuh pada Buda Manis, Wuku Dukut.Piodalan di
pura ini berlangsung setiap 6 bulan sekali.Lamanya piodalan yaitu 3
hari.Pelaksana piodalan adalah masyarakat Desa Samplangan sementara pemedek
berasal dari berbagai daerah di Bali, seperti Klungkung, Tabanan, Bangli, dan
daerah-daerah lainnya.
Menurut
informasi yang penulis dapat dari narasumber, sebelum upacara piodalan
dilaksanakan, masyarakat ngayah ke Pura.Ngayah sudah dilakukan oleh masyarakat
3 hari sebelum puncak piodalan berlangsung.Masyarakat Samplangan yang ngayah di
Pura Dalem Samprangan tidak semuanya terjun langsung ngayah tetapi bergantian
sesuai dengan tempekan.Masyarakat ngayah untuk mempersiapkan sarana yang
diperlukan pada saat piodalan. Berikut
diuraikan apa yang dikerjakan pada saat masyarakat ngayah di Pura.
Hari pertama:
Pada hari pertama ngayah, masyarakat laki-laki membuat taring sedangkan
perempuan membuat banten dan jaritan yang diperlukan untuk prosesi piodalan
seperti canang, jerimpen, sampian, penyeneng, pejati, tebasan, dan masih banyak
lagi.
Hari kedua:
Setelah membuat jaritan yang diperlukan, esok harinya pengayah laki-laki
nancepang taring sedangkan yang perempuan nanding sanganan suci, nanding suci,
dan banten-banten lainnya yang diperlukan saat piodalan.
Hari ketiga:
Pada hari ketiga, masyarakat menghias areal pura dan nedunang Ida Bhatara
serta ngiasin Ida Bhatara.Pada saat upacara nedunang Ida Bhatara, dilakukan
upcara mecaru terlebih dahulu.Upacara ini dilakukan di areal pura yang
bertujuan untuk menyucikan pura baik dari segi sekala maupun niskala sehingga
esok harinya bisa melakukan piodalan dengan hikmat.Setelah itu, pengayah
nedunang Bhatara untuk meias.Bhatara ditedunkan dari gedong penyimpenan menuju
piyasan.Di piyasan, Ida Bhatar dihias.Setelah dihias, Ida Bhatara dilinggihkan
di pesamuan.Setelah itu, pemangku menghaturkan banten di setiap pelinggih.
Pada saat puncak
piodalan, hal-hal yang dilakukan adalah sebagai berikut.
Hari pertama odalan:
-
Pada
pagi hari, Ida Bhatara ke Beji untuk mesucian (mesucian=mesiram). Beji adalah
tempat air suci. Pada saat lunga ke Beji, masyarakat membawa tapak pengenteg,
canang rebong, cecepan penastan, rantasan,banten suci, ajuman, dan lain sebagainya.
-
Setelah
pergi ke Beji, Ida Bhatara kaaturang piodalan. Piodalan
dihaturkan oleh sulinggih.
-
Ida Bhatara kaaturang
memasar.
-
Ida
Bhatara kaaturang ke jaba meluar.
-
Pada sore hari, pemedek
sudah mulai berdatangan untuk maturan.
Hari kedua odalan:
-
Pada hari kedua atau
sering disebut dengan manis odalan, upacara yang dilakukan di Pura adalah
nganyarin. Upacara ini dilakukan pada pagi hari.
-
Pada
hari kedua, pemedek juga masih ada yang maturan ke Pura.
Hari ketiga odalan:
-
Hari
ketiga merupakan hari terakhir piodalan di Pura Dalem Samprangan. Pada hari
ketiga dilangsungkan upacara penyineban. Upacara ini dilakukan pada malam hari.
-
Pemedek masih bisa
bersembahyang sebelum upacara penyineban berlangsung.
-
Ngaturang penganyaran
(banten anyaran).
-
Ida
Bhatara mesineb ke Gedong.
Gambar 2.Para pemedek menghaturkan
banten.
Pada
saat piodalan, pemedek bergantian untuk melakukan pesantian.Mereka sangat
berantusias menyumbangkan suaranya yang merdu.Selain itu, iringan gamelan juga
menghiasi prosesi piodalan sehingga tampak kusuk dan bermakna.Pada saat-saat
tertentu, sering diadakan hiburan yang dipentaskan pada saat hari terakhir
piodalan.Hal terbut bertujuan untuk menghibur masyarakat sekitar.
BAB 3
PENUTUP
Pura
Dalem Samprangan merupakan Pura yang terletak di Desa Samplangan, Gianyar.Pura
Dalem Samprangan dibangun pada saat pemerintahan Raja Bali kedua, yang bergelar
Sri Agra Samprangan pada tahun 1343 Masehi.Pura Dalem Samprangan berfungsi
sebagai Pura umum yang bisa dijadikan tempat bersembahyang oleh umat Hindu dari
manapun.
Pura Dalem Samprangan sudah
mengalami pemugaran selama beberapa kali.Pemugaran terakhir dilakukan pada
tahun 2002. Pura Dalem Samprangan berada di atas lahan berstatus “druwen desa”
seluas ± 10 are yang terdiri dari 27 bangunan.
Hari piodalan di Pura Dalem
Samprangan jatuh pada Buda Manis, Wuku Dukut.Piodalan di pura ini berlangsung
setiap 6 bulan sekali.Lamanya piodalan yaitu 3 hari.Sebelum upacara piodalan
dilaksanakan, masyarakat ngayah ke Pura untuk mempersiapkan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan pada saat piodalan.
Keunikan dari pura Dalem
Samprangan adalah Pura Dalem Samprangan merupakan Pura dari Kerajaan Bali Dwipa
ke-2, yaitu Sri Agra Samprangan.Pada saat piodalan, pemedek datang dari
berbagai wilayah di Bali hingga cakranegara Lombok.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2010. Sri Nararya Kresna Kepakisan (Raja Bali I). Tersedia
dalam http://srinararyakresnakepakisan.blogspot.com/2010/03/sri-nararya-kresna-kepakisan-raja-bali.html.Diakses pada
tanggal 31 Mei 2012.
Anonim. 2010. Pura Dalem Samprangan. Tersedia dalam http://www.youtube.com/watch?v=YinxV8_0eQw.Diakses
pada tanggal 28 Mei 2012.
Sudharma,
I Wayan. 2011. Pengertian Pura.
Tersedia dalam http://www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html.Diakses
pada tanggal 5 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar