Halaman

Senin, 02 September 2013

Pura Dalem Samprangan

BAB 1
PENDAHULUAN

Agama Hindu adalah agama yang paling pesat perkembangannya di Bali. Namun, tata cara persembahyangan di setiap desa berbeda-beda sesuai dengan Desa, Kala, Patra. Oleh karena itu, setiap Desa di Bali memiliki keunikan masing-masing dalam tata cara persembahyangan. Selain perbedaan tersebut, salah satu keunikan desa lainnya yaitu terdapat pura yang unik.
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari urat kata “pur” yang berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berhubungan dengan Ketuhanan.
Terdapat 4 jenis Pura di Bali, yaitu Pura Umum, Pura territorial, Pura Fungsional, dan Pura Kawitan.
1     Pura umum adalah Pura yang mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan Tunggal. Selain itu, Pura yang  tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura-pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.
2)      Pura territorial. Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat adat yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan.
3)      Pura Fungsional , Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.
4)      Pura Kawitan. Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian maka Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin. Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung.

Pada makalah ini, saya akan membahas Pura yang unik di Desa saya. Pura tersebut adalah Pura Dalem Samprangan.







BAB 2
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Pura Dalem Samprangan
Pura Dalem Samprangan merupakan Pura yang terletak di Desa Samplangan, Gianyar. Jaraknya kurang lebih 2 km dari pusat kota Gianyar.
Menurut penuturan masyarakat, Pura Dalem Samprangan memiliki kisah sejarah. Pura tersebut berhubungan dengan keberadaan Kerajaan Samprangan yang merupakan kerajaan Bali Dwipa pertama yang dipimpin oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang bertempat di desa Samprangan yang sekarang menjadi desa Samplangan. Menurut sumber yang penulis dapat dari http://www.youtube.com/watch?v=YinxV8_0eQw,Pura Dalem Samprangan dibangun pada saat pemerintahan Raja Bali kedua, yang bergelar Sri Agra Samprangan pada tahun 1343 Masehi. Pura tersebut merupakan tempat bersembahyang Raja pada Pemerintahan Sri Agra Samprangan. Untuk lebih jelasnya,  penulis uraikan sedikit tentang Sejarah kerajaan Bali.

1.        Sejarah Kerajaan Bali
            ……………………………………………………………………………………………..
Majapahit yang dipimpin Raja Putri: Sri Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani bersama Patih Agung: Gajah Mada berhasil menguasai Kerajaan Bali Aga yang dipimpin oleh Raja Paduka Bathara Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten (dikenal dengan nama: Bedahulu) dengan Patih yang bernama Ki Pasung Grigis dan Ki Kebo Iwa, pada tahun 1343 M atau isaka 1265. Pimpinan Pemerintahan sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih Wulung.Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel.
Walaupun Bali sudah dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh militer Bali Aga sudah menyerah.Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur.Setelah tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum mau menerima kehadiran “si-penjajah” sepenuh hati.
Melihat keamanan sudah membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada tahun 1350 M atau 1272 isaka, Ki Patih Wulung berangkat ke Majapahit untuk menghadap Sri Ratu. Tujuannya adalah melaporkan situasi di Bali dan memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa. Atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat orang Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu: Sri Juru, menjadi Raja di Blambangan, Sri Bhima Sakti menjadi Raja di Pasuruan, Sri Kepakisan (putri) menjadi Raja di Sumbawa, dan Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.
Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km. Dalam pemerintahannya Dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi.
Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu Gajah Para, melahirkan: Dalem Wayan (Dalem Samprangan), Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan), Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak), dan Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir). Istri yang kedua yaitu  Ni Gusti Ayu Kuta Waringin, melahirkan: Dewa Tegal Besung.
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908).Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para bangsawan.Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali.Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali kuno.
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka.Beliau digantikan oleh putranya yang tertua, yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan. Di awal pemerintahan Dalem Sri Agra Samprangan terasa situasi di Puri Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat Raja.
Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Raja, yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem Ketut, memilih tinggal di luar istana.Dalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar Dalem Tarukan. Dalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan; Penduduk lalu menjuluki beliau Dalem Ketut Ngulesir.Selain untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan rakyat.Ide Bethara Dalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebahagian besar masih belum mengakui pemerintahan Samprangan.
Sementara itu pergolakan di Puri Samprangan makin memanas, ditandai dengan pemberian julukan yang tidak pada tempatnya kepada Raja. Dalem Sri Agra Samprangan diberi julukan Dalem Ile (Ile=gila), Dalem Tarukan dinyatakan “rangseng” (=gila karena marah), dan Dalem Ketut dinyatakan sangat suka berjudi, khususnya mengadu ayam. Julukan tidak pada tempatnya yang diberikan kepada para Raja itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Hindu yang senantiasa mengajarkan penghormatan tinggi kepada Pemimpin Pemerintahan. Penghinaan kepada Raja itu jelas fitnah, karena jika benar adanya, pasti Maha Raja Majapahit dan Maha Patih Gajah Mada tidak akan tinggal diam. Tindakan pemecatan atau penggantian Raja pasti dilakukan. Selain itu, jika julukan itu benar, para musuh, yaitu rakyat Bedahulu akan mempunyai peluang yang baik untuk menggulingkan Pemerintahan Samprangan.
Pemerintahan Samprangan di ambang kehancuran, karena tidak adanya dukungan dari para Menteri dan pembantu Raja.Dalem Wayan merasa perlu memanggil adik beliau yaitu Dalem Ketut untuk diajak kembali tinggal di Puri Samprangan.Maksudnya agar Dalem Ketut turut membantu beliau menyelenggarakan pemerintahan.Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau untuk menjemput Dalem Ketut ke Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena beliau merasa belum mampu memimpin kerajaan di Samprangan.
Sementara Dalem Ketut mencari jalan keluar memecahkan masalah ini, datanglah Kuda Penandang Kajar sebagai utusan Dalem Tarukan memohon Dalem Ketut pulang untuk memimpin Kerajaan Samprangan.Dalem Tarukan sendiri tidak berniat menjadi Raja, karena beliau lebih tertarik kepada profesi kepanditaan. Pesan lain yang disampaikan Kuda Penandang Kajar adalah, jika Dalem Ketut berkenan, beliau dibolehkan menggunakan istana Tarukan. Walaupun penjemputan kali ini penuh penghormatan dan kemewahan, misalnya dengan kuda tunggangan istimewa bernama I Gagak dan sebuah keris milik Dalem Tarukan yang bernama I Pangenteg Rat, Dalem Ketut tetap menolak permintaan kakaknya itu, sekali lagi dengan alasan belum mampu memimpin atau menjadi Raja.
Kecewa karena tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang Kajar kembali ke Tarukan dengan lesu.Di perjalanan beliau disambar burung gagak hingga destarnya jatuh.Sesampainya di gerbang istana Tarukan, dilihatnya puncak gelung kuri terpenggal.Hanya Kuda Penandang Kajar yang melihat demikian, sementara para pengiringnya tidak melihat puncak gelung kuri itu terpenggal.Hal tersebut terkesan pertanda buruk di hati Kuda Penandang Kajar sampai-sampai beliau jatuh sakit.Dalem Tarukan prihatin pada sakit yang diderita kemenakannya ini.
Sementara itu tersiar berita yang mengagetkan, bahwa para panglima perang Samprangan merencanakan memerangi Kerajaan Blambangan.Dalem Tarukan tidak setuju dengan rencana itu, mengingat bahwa Dalem Blambangan, yaitu ayah Kuda Penandang Kajar, masih saudara sepupu beliau. Dalem Tarukan berpendapat bahwa rencana itu mempunyai latar lain, mungkin saja gerakan merebut kekuasaan, yaitu bila prajurit dikerahkan ke Blambangan, Dalem Wayan akan mudah digulingkan. Dalem Tarukan cepat mengambil inisiatif untuk mengikat tali persaudaraan antara Samprangan dengan Blambangan, yaitu dengan menikahkan Kuda Penandang Kajar dengan putri Dalem Wayan, bernama I Dewa Ayu Muter.Dengan ikatan tali persaudaraan itu, perang dapat dicegah.Sakitnya Kuda Penandang Kajar menjadi suatu jalan untuk memohon restu para Dewata.Jika Dewata mengijinkan pernikahan ini, kesembuhan Kuda Penandang Kajar menjadi suatu batu ujian. Pertimbangan lain, Dalem Tarukan melihat bahwa Kuda Penandang Kajar sudah cukup dewasa, dan dari gelagat sehari-hari nampaknya tertarik kepada I Dewa Ayu Muter. Terucaplah tegur sapa Dalem Tarukan kepada Kuda Penandang Kajar:
“Duhai anakku, segeralah sembuh; ayah berkeinginan mengawinkan anak dengan I Dewa Ayu Muter.”
Ternyata permohonan Dalem Tarukan kepada para Dewata terkabul.Kuda Penandang Kajar segera sembuh dan sehat seperti semula.Tentu saja Dalem Tarukan sangat bergembira.Kini beliau merencanakan mewujudkan perkawinan kedua muda-mudi itu.Untuk meminang tentu saja tidak mungkin, karena posisi Dalem Wayan sangat lemah.Beliau hampir tidak dapat memutuskan sesuatu.Semua keputusan diambil oleh para Menteri.Akhirnya dilaksanakanlah perkawinan secara adat kawin-lari.Awalnya perkawinan itu berjalan lancar, sampai pada malam hari terjadi hal yang merupakan akhir dari keberadaan Puri Tarukan. Kedua mempelai yang sedang berbulan madu di peraduan, tewas berbarengan tertusuk senjata keris. Seorang abdi perempuan pengasuh I Dewa Ayu Muter di Puri Samprangan melaporkan secara tergesa-gesa kepada Dalem Wayan bahwa putri beliau satu-satunya , yaitu I Dewa Ayu Muter, semalam telah tewas di Puri Tarukan terbunuh oleh Ki Tanda Langlang. Dalem Wayan tentu saja sangat terkejut dan segera memanggil para menterinya. Seorang panglima perang menyampaikan ceritra yang lengkap, serta memperkuat keyakinan Dalem Wayan bahwa putri beliau bersama-sama Kuda Penandang Kajar benar telah tewas ditikam Ki Tanda Langlang. Betapa murkanya Dalem Wayan setelah mendapat penjelasan para Menterinya itu.Segera disuruhlah memukul kentongan dengan suara "bulus" sehingga para prajurit segera berkumpul di halaman istana.Di saat itu Dalem Wayan memerintahkan pasukan Dulang Mangap yang dipimpin Panglimanya Kiyai Parembu, menyerang menghancurkan Puri Tarukan serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau mati.
Singkat cerita, sudah sekian lama Kiyai Parembu mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan dan desa-desa di pegunungan, tiada kabar berita, membuat Dalem Wayan resah.Dalam hati kecilnya beliau menyesal telah mengeluarkan perintah yang demikian kejam namun sebagai seorang Raja tidak mungkin beliau menarik kembali perintah itu.Kini beliau mengharap semoga adik kandung beliau itu selamat.
Rasa kesepian karena tiada saudara sekandung, perasaan bersalah yang terus menghantui, serta siasat dari para Menteri yang tiada hentinya, membuat Dalem Wayan tidak bergairah memimpin pemerintahan Kerajaan Samprangan. Perasaan bersalah Dalem Wayan makin menjadi-jadi setelah istri Dalem Tarukan yaitu putri dari Lempuyang meninggal ketika putra yang dilahirkannya genap berusia 42 hari. Bayi mungil ini dinamai I Dewa Bagus Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di peraduan saja, tidak beda seperti orang yang sedang sakit. Para menteri dan petinggi kerajaan yang ingin menghadap tidak berhasil menemui beliau, sehingga lama kelamaan roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.Keadaan ini mengkhawatirkan beberapa menteri karena dapat membahayakan kelangsungan berdirinya kerajaan Samprangan, apalagi kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga masih terus berusaha menggulingkan kerajaan.Seorang menteri bernama Kiyai Kebon Tubuh mengambil inisiatif berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput Dalem Ketut Ngulesir untuk memohon beliau bersedia menjadi Raja.
Kiyai berhasil menemui Dalem Ketut di arena sabungan ayam sedang berwajah lesu karena baru saja kalah bertaruh.Kiyai melaporkan secara singkat keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan dan peristiwa menyedihkan yang terjadi di Puri Tarukan.Sejenak Dalem Ketut termenung membayangkan betapa tragisnya nasib beliau tiga bersaudara.Kiyai melanjutkan permohonannya agar Dalem Ketut sudi pulang ke Samprangan untuk memimpin kerajaan Bali Dwipa. Walaupun Dalem Ketut sudah lama meninggalkan Samprangan, beliau selalu memantau apa yang terjadi di Puri Samprangan. Permintaan Kiyai Kebon Tubuh itu memang patut dipertimbangkan demi menjaga kelangsungan roda pemerintahan, namun bagaimana nanti dengan kedudukan Dalem Wayan ?Pemikiran Dalem Ketut itu nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan agar Dalem Ketut memerintah dari Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata lain kerajaan seolah-olah sudah dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui Dalem Ketut dan segeralah beliau berangkat ke Gelgel.
Dalem Ketut Ngulesir, bergelar Dalem Sri Semara Kepakisan, memerintah sejak tahun 1383 M atau 1305 isaka sampai tahun 1460 M atau 1382 isaka. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel yang diberi nama baru Sweca Pura.
……………………………………………………………………………………………….
            Berdasarkan informasi yang penulis dapat dari Pemangku, Bhatara-bhatara yang berstana di Pura Dalem Samprangan adalah Bhatara Sri Rambut Sedana, Bhatara Dalem Samprangan, dan Bhatara Ratu Panji.

2.  Pemugaran Bangunan Pura Dalem Samprangan
            Menurut Bpk. Wayan Sujana selaku Klian adat di desa Samplangan, Pura Dalem Samprangan sudah mengalami pemugaran selama beberapa kali.Namun, pemugaran tersebut hanya sebatas pemugaran pelinggih dan bangunan-bangunan Pura saja, seperti piyasan.Pemugaran terakhir dilakukan pada tahun 2002. Pemugaran ini merupakan pemugaran akbar. Hampir keseluruhan bangunan Pura direhab.Pemugaran tersebut diprakarsai oleh Anak Agung Gede Beratha (Bupati Gianyar).Beliau mengumpulkan penyiwi dari seluruh Bali untuk mengadakan rapat besar guna memugar bangunan pura tersebut. Berdasarkan hasil rapat tersebut diutuslah masing-masing 5 orang krama untuk menangani tiap kabupaten dengan membawa surat undangan.
            Dari hasil rapat akbar tersebut, para penyiwi di seluruh Bali memutuskan:
1.      Siap merehab bangunan yang sudah lama.
2.      Setiap penyiwi mengeluarkan urunan 100rb per-KK.
3.      Pembangunan pelinggih dicarikan pemborong.
Teknis pemungutan dana dari penyiwi dikoordinir oleh panitia (prajuru desa). Setelah itu mulailah pemugaran bangunan Pura hingga tampak seperti sekarang.

Gambar 2.1 Pura Dalem Samprangan Sekarang


B.       Susunan Pelinggih-Pelinggih Pura Dalem Samprangan
Pura Dalem Samprangan berada di atas lahan berstatus “druwen desa” seluas ± 10 are. Pura Dalem Samprangan terletak di pinggir jalan raya dan di tengah-tengah pemukiman warga.
Menurut pemangku, Pura Dalem Samprangan merupakan bekas Pura Kerajaan Samprangan.Oleh karena itu, Pura Dalem Samprangan berfungsi sebagai Pura umum yang bisa dijadikan tempat bersembahyang oleh umat Hindu dari manapun.Pura Dalem Samprangan disungsung oleh masyarakat Samplangan dan penyiwi dari berbagai wilayah di Bali.Masyarakat Samplangan wajib melaksanakan upacara piodalan terhadap Pura tersebut sedangkan penyiwi bertanggung jawab atas pembangunan Pura.
Pura Dalem Samprangan terdiri dari 27 bangunan yang terdiri dari 3 bagian, yaitu:
a.       Bagian jeroan
Terdiri dari bangunan:
1)      Balai pesanekan, yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan pemangku.
2)      Piyasan, sebagai tempat menghaturkan banten kepada Ida Bhatara.
3)      Pelinggih taksu agung, sebagai pelinggih Bhatara Taksu Agung.
4)      Pelinggih ratu panji, sebagai stana Raja masa Lampau.
5)      2 buah Pelinggih cermin, sebagai peninggalan Raja untuk berhias.
6)      Pelinggih gedong penyineban, sebagai tempat untuk nyineb dan menyimpan arca.
7)      Pelinggih gunung agung, sebagai stana Dewa Mahadewa.
8)      Pelinggih gunung lebah, sebagai stana Bhatara di Batur.
9)      Padmasana, sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
10)  Pelinggih meru, sebagai pelinggih Bhatara Sada Siwa Parama Siwa.
11)  Pelinggih gedong sari, sebagai pelinggih Bhatara Sri Sedana.
12)  Pelinggih maspahit, sebagai persimpangan Ratu Maspait (Ratu dari Majapahit).
13)  Pelinggih nglurah agung, sebagai prekangge.
14)  Panggungan, sebagai pelinggih Bhatara Yoni Sakti.
15)  Pesamuan agung, sebagai pelinggih Ida Bhatara semuanya.
16)  Balai pesantian, tempat mengadakan pesantian.
17)  Balai patok, sebagai tempat untuk undangan/pejabat-pejabat yang datang seperti Bupati.
b.      Bagian jaba tengah
Terdiri dari bangunan:
1)      2 buah apit lawang, sebagai symbol penjaga pintu gerbang.
2)      Balai gong, sebagai tempat meletakkan gong dan tempat untuk memainkan gong.
3)      Balai kulkul, sebagai tempat kulkul Pura yang akan dipukul saat upacara piodalan dimulai.
c.       Bagian jaba
Terdiri dari bangunan:
1)      Wantilan, sebagai tempat mengadakan hiburan dan kegiatan-kegiatan Desa lainnya.
2)      Kulkul banjar, sebagai tempat meletakkan kulkul banjar yang akan dipukul jika terjadi masalah yang genting, tanda untuk mengumpulkan pemuda-pemudi untuk rapat, tanda ada orang yang meninggal, dan lain sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan denah Pura Dalem Samprangan dan keterangannya.

Keterangan denah:
1.               Balai Pesanekan
2.               Piyasan
3.               Pelinggih Taksu Agung
4.               Pelinggih Ratu Panji
5.               Pelinggih Cermin
6.               Pelinggih Cermin
7.               Pelinggih Gedong Penyineban
8.               Pelinggih Gunung Agung
9.               Pelinggih Gunung Lebah
10.           Padmasana
11.           Pelinggih Meru
12.           Pelinggih Gedong Sari
13.           Pelinggih Maspahit
14.           Pelinggih Nglurah Agung
15.           Panggungan
16.           Pesamuan Agung
17.           Balai Pesantian
18.           Balai Patok
19.           Balai Peselang
20.           Gelung Kori Agung
21.           Apit Lawang
22.           Balai Gong
23.           Balai Kulkul
24.           Jempeng/ WC
25.           Perantenan
26.           Wantilan
27.           Kulkul Banjar



C.      Dudonan Dan Jalannya Upacara Piodalan Di Pura Dalem Samprangan
Upacara Piodalan adalah upacara pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala manifestasinya lewat sarana pemerajan, pura, kahyangan saat hari- hari tertentu. Upacara Piodalan bisa juga bermakna hari ulang tahun bagi pura.Piodalan bisa juga di sebut pertitayan, petoyan dan puja wali.
Hari piodalan di Pura Dalem Samprangan jatuh pada Buda Manis, Wuku Dukut.Piodalan di pura ini berlangsung setiap 6 bulan sekali.Lamanya piodalan yaitu 3 hari.Pelaksana piodalan adalah masyarakat Desa Samplangan sementara pemedek berasal dari berbagai daerah di Bali, seperti Klungkung, Tabanan, Bangli, dan daerah-daerah lainnya.
Menurut informasi yang penulis dapat dari narasumber, sebelum upacara piodalan dilaksanakan, masyarakat ngayah ke Pura.Ngayah sudah dilakukan oleh masyarakat 3 hari sebelum puncak piodalan berlangsung.Masyarakat Samplangan yang ngayah di Pura Dalem Samprangan tidak semuanya terjun langsung ngayah tetapi bergantian sesuai dengan tempekan.Masyarakat ngayah untuk mempersiapkan sarana yang diperlukan pada saat piodalan. Berikut diuraikan apa yang dikerjakan pada saat masyarakat ngayah di Pura.
Hari pertama:
Pada hari pertama ngayah, masyarakat laki-laki membuat taring sedangkan perempuan membuat banten dan jaritan yang diperlukan untuk prosesi piodalan seperti canang, jerimpen, sampian, penyeneng, pejati, tebasan, dan masih banyak lagi.
Hari kedua:
Setelah membuat jaritan yang diperlukan, esok harinya pengayah laki-laki nancepang taring sedangkan yang perempuan nanding sanganan suci, nanding suci, dan banten-banten lainnya yang diperlukan saat piodalan.
Hari ketiga:
Pada hari ketiga, masyarakat menghias areal pura dan nedunang Ida Bhatara serta ngiasin Ida Bhatara.Pada saat upacara nedunang Ida Bhatara, dilakukan upcara mecaru terlebih dahulu.Upacara ini dilakukan di areal pura yang bertujuan untuk menyucikan pura baik dari segi sekala maupun niskala sehingga esok harinya bisa melakukan piodalan dengan hikmat.Setelah itu, pengayah nedunang Bhatara untuk meias.Bhatara ditedunkan dari gedong penyimpenan menuju piyasan.Di piyasan, Ida Bhatar dihias.Setelah dihias, Ida Bhatara dilinggihkan di pesamuan.Setelah itu, pemangku menghaturkan banten di setiap pelinggih.

Pada saat puncak piodalan, hal-hal yang dilakukan adalah sebagai berikut.
Hari pertama odalan:
-          Pada pagi hari, Ida Bhatara ke Beji untuk mesucian (mesucian=mesiram). Beji adalah tempat air suci. Pada saat lunga ke Beji, masyarakat membawa tapak pengenteg, canang rebong, cecepan penastan, rantasan,banten suci, ajuman, dan lain sebagainya.
-          Setelah pergi ke Beji, Ida Bhatara kaaturang piodalan. Piodalan dihaturkan oleh sulinggih.
-          Ida Bhatara kaaturang memasar.
-          Ida Bhatara kaaturang ke jaba meluar.
-          Pada sore hari, pemedek sudah mulai berdatangan untuk maturan.
Hari kedua odalan:
-          Pada hari kedua atau sering disebut dengan manis odalan, upacara yang dilakukan di Pura adalah nganyarin. Upacara ini dilakukan pada pagi hari.
-          Pada hari kedua, pemedek juga masih ada yang maturan ke Pura.
Hari ketiga odalan:
-          Hari ketiga merupakan hari terakhir piodalan di Pura Dalem Samprangan. Pada hari ketiga dilangsungkan upacara penyineban. Upacara ini dilakukan pada malam hari.
-          Pemedek masih bisa bersembahyang sebelum upacara penyineban berlangsung.
-          Ngaturang penganyaran (banten anyaran).
-          Ida Bhatara mesineb ke Gedong.
Gambar 2.Para pemedek menghaturkan banten.

Pada saat piodalan, pemedek bergantian untuk melakukan pesantian.Mereka sangat berantusias menyumbangkan suaranya yang merdu.Selain itu, iringan gamelan juga menghiasi prosesi piodalan sehingga tampak kusuk dan bermakna.Pada saat-saat tertentu, sering diadakan hiburan yang dipentaskan pada saat hari terakhir piodalan.Hal terbut bertujuan untuk menghibur masyarakat sekitar.


BAB 3
PENUTUP

            Pura Dalem Samprangan merupakan Pura yang terletak di Desa Samplangan, Gianyar.Pura Dalem Samprangan dibangun pada saat pemerintahan Raja Bali kedua, yang bergelar Sri Agra Samprangan pada tahun 1343 Masehi.Pura Dalem Samprangan berfungsi sebagai Pura umum yang bisa dijadikan tempat bersembahyang oleh umat Hindu dari manapun.
Pura Dalem Samprangan sudah mengalami pemugaran selama beberapa kali.Pemugaran terakhir dilakukan pada tahun 2002. Pura Dalem Samprangan berada di atas lahan berstatus “druwen desa” seluas ± 10 are yang terdiri dari 27 bangunan.
Hari piodalan di Pura Dalem Samprangan jatuh pada Buda Manis, Wuku Dukut.Piodalan di pura ini berlangsung setiap 6 bulan sekali.Lamanya piodalan yaitu 3 hari.Sebelum upacara piodalan dilaksanakan, masyarakat ngayah ke Pura untuk mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan pada saat piodalan.
Keunikan dari pura Dalem Samprangan adalah Pura Dalem Samprangan merupakan Pura dari Kerajaan Bali Dwipa ke-2, yaitu Sri Agra Samprangan.Pada saat piodalan, pemedek datang dari berbagai wilayah di Bali hingga cakranegara Lombok.

  

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Sri Nararya Kresna Kepakisan (Raja Bali I). Tersedia dalam http://srinararyakresnakepakisan.blogspot.com/2010/03/sri-nararya-kresna-kepakisan-raja-bali.html.Diakses pada tanggal 31 Mei 2012.
Anonim. 2010. Pura Dalem Samprangan. Tersedia dalam http://www.youtube.com/watch?v=YinxV8_0eQw.Diakses pada tanggal 28 Mei 2012.
Sudharma, I Wayan. 2011. Pengertian Pura. Tersedia dalam http://www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html.Diakses pada tanggal 5 Juni 2012.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar